Dalam rangka
terlaksananya etika pengadaan barang/jasa, penyedia jasa dalam prosesnya
dituntut untuk mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah ada, baik
peraturan perundang-undangan, juknis atau ketentuan lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, banyaknya ketentuan yang
harus harus dipenuhi janganlah dijadikan sebagai permasalahan tapi jadikan
sebagai acuan dalam menuju hasil yang dapat dipertanggung jawabkan.
Salah satu tugas baru
yang akan dilaksanakan oleh penanda tangan kontrak (PA/KPA/PPK), diamanatkan
oleh Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan Barang/jasa
Pemerintah, dimana dalam tugasnya PPK pada pasal 11 ayat 1 huruf o berbunyi
yaitu “menilai kinerja penyedia”, menilai kinerja tersebut sebenarnya diamanatkan
kepada penanda tangan kontrak, walaupun dalam peratutaran prsediden ini hanya
disampaikan dalam tugas PPK, namun penilaian kinerja tersebut harus dikeluarkan
oleh siapapun yang menjadi penanda tangani kontrak (PPK/KPA/PA), pada peraturan
sebelumnya hal ini tidak diamanatkan
Saat ini penanda tangan
kontrak berbeda-beda nama, Mengapa demikian? Karena pelaku pengadaan
barang/jasa (K/L/D/I) khususnya personil pengikat kontrak dalam implementasi walaupun
berbeda-beda namun dibolehkan, nama unsur yang berkontraknya tergantung rentang
kendali tugas masing-masing satuan kerja dan tidak semuanya menunjuk PPK dalam
proses pengadaan barang/jasa, ada PPK, KPA dan bisa juga PA, dalam penilaian
kinerja penyedia jasa/badan usaha harus dikeluarkan oleh yang mengikat kontrak
atau berjanji apapun namanya.
Kinerja atau prestasi
kerja penyedia jasa/badan usaha merupakan hasil yang dicapai secara kualitas
dan kuantitas dalam melaksanakan pekerjaan, dimanaa kemampuannya dalam menangani
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya harus dilaksanakan dengan baik, pengalaman
pekerjaan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bagi penyedia jasa secara
berkelanjutan akan dijadikan syarat dalam proses lelang untuk mendapatkan
pekerjaan berikutnya.
Seberapa
pentingkah peninilaian kinerja?
Masuknya penilaian
kinerja dalam tugas PPK tentu sudah melalui kajian, urgensinya akan saling kait
berkait dengan proses lain dalam pengadaan barang/jasa, sehingga dalam
pelaksanaannya tentu harus diperhatikan dengan seksama, untuk apa dan kapan
digunakannya penilaian kinerja tersebut, memang selama ini penyedia jasa yang
masuk daftar hitam jelas tidak akan bisa ikut dalam proses pengadaan barang/jasa,
namun kedepannya perlakuan yang sama dengan daftar hitam juga berlaku untuk
kinerja tidak baik, hal ini bisa saja untuk menjawab persoalan yang selama ini
diperdebatkan yaitu seperti blacklist lokal dan lain-lain yang sebenarnya tidak
ada.
Prestasi kerja sebelumnya
bagi penyedia jasa/badan usaha yang kurang baik dan bahkan tidak baik memang terkadang
menjadi persoalan bagi personil pengadaan barang/jasa, kondisi kinerja tidak
baik penyedia jasa tidak akan diketahui oleh yang mengadakan proses pelelangan
(pokja ULP katakan), sebab yang tau akan hal itu adalah pelaksana kegiatan,
sehingga terkadang hasil lelang menjadi perdebatan antara personil proses
lelang dengan personil pelaksana kegiatan tersebut.
Penyedia jasa yang
menangani kegiatan pada instansi A, secara otomatis jejak rekamnya yang berupa
kinerja tersebut akan diketahui oleh personil pelaksanana instansi A, tapi jika
sebelumnya penyedia jasa/badan usaha ikut menangani kegiatan di instansi B secara
otomatis pelaksana di instansi A tidak akan mengetahui kinerjanya penyedia jasa
di instansi B tersebut dan begitu juga sebaliknya, bagi personil yang menangani
proses lelang kondisi kinerja baik dan tidaknya suatu badan usaha sama sekali tidak
akan mereka ketahui.
Pentingnya kinerja
memang sudah menjadi bahasan dari dulu dan bahkan jika PPK/KPA/PA tahu kinerja
calon pemenang yang ditetapkan tidak baik, PPK/KPA/PA berhak meninjau ulang pemenang
lelang yang sudah ditetapkan untuk disampaikan kepada Pokja ULP, namun
terkadang kondisi ini akan menimbulkan berbagai pertentangan dengan alasan
bahwa penyedia jasa/badan usaha bersangkutan tidak masuk dalam daftar hitam
Nasional.
Dengan adanya
“penilaian kinerja” yang dikeluarkan oleh penanda tangan kontrak (PPK/KPA/PA),
mudah-mudahan menjadi solusi bersama untuk menyamakan persepsi semua unsur
pengelola barang/jasa, sehingga Pokja ULP tidak ragu-ragu dalam menetapkan
Pemenang hasil pelelangan dan ketika penyedia jasa/badan usaha yang tidak
mengantongi penilaian kinerja, maka sebenarnya kondisi ini dalam lelang sangat
jelas.
Sudah
sejauh manakah sosialisasi terhadap tugas menilai kinerja penyedia?
Tugas baru PPK sesuai
dengan Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah pasal 11 ayat 1 huruf o berbunyi yaitu “menilai kinerja penyedia”,
maka sudah sawajarnya dalam sosialisasi terhadap hal berkenaan digencarkan,
sebab poin tersebut sangat penting dan akan memberi pengaruh yang cukup besar bagi
para pelaku pengadaan barang jasa, apalagi pada tahun 2019 peraturan tersebut
akan berlaku menyeluruh dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.
Kita berharap akan hal
berkenaan tidak menggunakan persepsi masing-masing, sehingga menjadi perbedaan
dan perdebatan yang tidak berujung tanpa penyelesaian, maka kita pun sebagai
pelaku pengadaan barang/jasa sebenarnya sangat berharap dalam
sosialisasi-sosialisasi hal ini sudah disampaikan kepada peserta sosialisasi,
kapan perlu sudah ditekankan semua kegiatan proyek tahun 2018 seluruh penanda
tangan kontrak (PPK/KPA/PA) sudah mengeluarkan surat kinerja tersebut.
Penyedia jasa yang
mengikuti pelelangan tahun 2019 harus sudah mengantongi surat kinerjanya,
sehingga dalam mengikuti proses lelang dapat dilampirkan sebagai pendukung
pengalaman pekerjaan penyedia jasa bersangkutan, kemudian terkait dengan
kegiatan peneyedia jasa ditahun 2017 kebawah, mungkin dalam lampiran pendukung pengalamannya
bisa dipertimbangkan untuk tidak meminta penilaian kinerja tersebut, hal ini
karena alasan-alasan yang saya rasa kita semua sudah mengerti dan memahami.
Sudah
adakah batasan-batasan penilaian kinerja tersebut?
Setiap ketentuan pasti
ada batasan-batasannya, begitu juga halnya dengan penilaiaan kinerja yang akan
dilakukan oleh penanda tangan kontrak (PPK/KPA/PA), dalam penilaian kinerja
tentu memerlukan batasan-batasan yang akan menjadi pedoman dan acuan oleh
pejabat penanda tangan kontrak, sehingga keputusan yang diambil tidak
menimbulkan polemik bagi kelangsungan pengadaan barang/jasa pemerintah secara
umum.
Kinerja baik dan tidak
baik yang akan dicapkan kepada penyedia jasa merupakan hal yang sangat penting
bagi masa depan penyedia jasa itu sendiri, keputusan yang akan kita ambil tidak
merugikan mereka, sehingga setiap penanda tangan kontrak PPK/KPA/PA saat
memutuskan kinerja tidak baik pada penyedia jasa berdasarkan pertimbangan yang
matang dan memang sudah memenuhi ketentuan.
Maka dari pada itu
untuk kelancaran dan menjaga hubungan baik dengan penyedia, standard dan
kriteria perlu ditetapkan sebijak mungkin dan sebaiknya ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan, mengapa demikian? Karena penilaian kinerja yang
dikeluarkan oleh penanda tangan kontrak akan menjadi surat penting bagi
penyedia dalam mengikuti proses lelang selanjutnya, kalaulah penyedia jasa tidak
memiliki surat keterangan kinerja tentulah penyedia tersebut tidak akan bisa mengikuti
proses pelelangan dimana pun.
Mungkin ada baiknya
kontraktor yang mendapatkan paket lebih dari satu pada tahun sebelumnya, agar
dapat melampirkan semua pangalamannya berikut surat keterangan kinerjanya, karena
bisa saja salah satu dari beberapa paket tahun sebelumnya tersebut tidak
mengantongi kinerja baik, sehingga ketika mengikuti pelelangan mereka hanya
melampirkan pengalaman yang memiliki kinerja baik saja atau adanya syarat
batasan porsentase berkinerja baik bagi penyedia jasa yang menangani kegiatan melebihi
2 (dua) paket tahun sebelumnya.
Kemudian sampai saat
ini belum ada stadar dan kriteria panilaian kinerja bagi penyedia jasa, apakah
penyedia jasa yang sudah mendapatkan surat peringatan pertama atau kedua dan
atau ketiga tergolong berkinerja tidak baik? atau penyedia yang sudah
berulang-ulang tidak mengindahkan instruksi direksi lapangan berkinerja tidak
baik? ataukah penyedia jasa yang tidak mengindahkan instruksi hasil audit juga
demikian? dan lain sebagainya, seperti apakah penyedia jasa yang berkinerja baik
dan tidak baik?, hal itu harus dirumuskan dan jelaskan dalam peraturan
perundang-undangan.
Standar dan kriteria
penilaian kinerja tesebut sebaiknya tahun 2018 setelah Peraturan Presiden terbit
harus sudah ada, sebab tahun 2019 Peraturan presiden nomor 16 Tahun 2018 otomatis
sudah diberlakukan dalam proses pengadaan barang/jasa, pada akhir tahun 2018
saat selesainya serah terima pertama (PHO) harus sudah mengeluarkan surat
penilaian kinerja dan kemudian setelah serah terima akhir (FHO) juga
mengeluarkan penilaian kinerja lagi, sehingga dapat digunakan oleh penyedia
jasa sesuai kebutuhannya.
Kita berharap dengan adanya
penilaian kinerja ini dapat terciptanya kemudahan dan meminimalisir persoalan
bagi para pengelola dalam proses pengadaan barang/jasa, baik proses lelang oleh
Pokja ULP maupun proses pelaksanaan oleh PPK/KPA/PA, sehingga dengan sendirinya
terjaringlah para penyedia jasa/badan usaha yang hasil kerjanya dapat
dipertanggung jawabkan dan memberikan kenyamanan bagi semua pihak.
Kapada para PPK/KPA/PA
yang menanda tangani kontrak, ingat akhir tahun 2018 ketika pekerjan proyek
sudah selesai, jangan lupa untuk mengeluarkan surat keterangan berkinerja baik
kepada penyedia jasa dengan penilaian yang objektif dan bagi para Pokja ULP
(UKPBJ) tahun 2019 jika PPK/KPA/PA lupa melampirkan syarat berkinerja baik,
maka jangan lupa untuk saling mengingatkan, PPK/KPA/PA dan Pokja ULP (UKPBJ)
merupakan tim estafet yang harus saling menjaga kebersamaan untuk kekompakkan.
Mohon
maaf jika terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan
Oleh
Nafriandi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar