PROSES PEMBUATAN JALUR TAHUN 80-AN DI RANTAU KUANTAN
Oleh
: Nafriandi
Panjang
Jalur yang digunakan dalam Pacu Jalur berkisar antara 25 s/d 40 meter, dimana
jalur dibuat dengan menggunakan sebatang kayu yang utuh, dari panjang Jalur
tersebut tentu bukanlah perkara mudah untuk bisa memiliki sebuah Jalur, apalagi
pada masa teknologi belum berkembang, butuh kebulatan tekad dan kebersamaan,
agar impian untuk memiliki jalur dapat diwujudkan.
Ma elo jaluar desa Koto rajo - KHS - Sumber foto : Riau Mandiri.co
Batabo atau
gotong royong dirantau kuantan sudah menjadi tradisi masyarakat sampai saat ini,
setiap kegiatan kemasyarakatan dari dulu dilaksanakan dengan batobo, terutama untuk kegiatan yang
mememerlukan banyak tenaga dan bahkan biaya, membuat Jalur salah satu kegiatan
yang selalu dilaksanakan tradisi batobo
tersebut, mulai dari survey pencarian kayu, penebangan, maelo (maenarik) jalur dan sampai berbentuk kayu tersebut menjadi sebuah
perahu atau Jalur.
Pada
zaman modern saat ini kegiatan Betobo mengalami
degradasi, kemajuan teknologi mengubah sistem dan pola masyarakat dalam
mengatasi persoalan, kegiatan masyarakat sudah beralih dari menggunakan tenaga manusia
(manual) ke tenaga mesin, seperti maelo
Jalur, ketika sudah beralih ke tenaga mesin, dengan sendirinya untuk proses Batobo dalam maelo jalur dirantau kuantan berkurang dan bahkan hilang seiring
perkembangan zaman.
Penulis
mencoba untuk mengingat-ingat ulang proses pembuatan Jalur diwilayah domisili
penulis lahir, dari kanak-kanak sampai dewasa muda, mohon ma’af jika nantinya
ada yang kurang berkenan terhadap locus yang diambil, locus pembuatan Jalur dibawah
tahun 1990 an yang disampaikan adalah dari desa Koto Sentajo kecamatan Kuantan
tengah kabupaten Indragiri hulu,
sekarang desa Koto sentajo kecamatan Sentajo raya kabupaten Kuantan Singingi.
Kepada
pembaca khususnya kekawan sepermainan, Abang, Mamak, Bapak, Datuak dan
saudaraku yang lain, yang mungkin juga banyak tau dan menyimpan cerita tentang pembuatan
Jalur tempo dulu, diharapkan dikoreksi jika terdapat informasi yang kurang dan
bahkan tidak sesuai, semoga tulisan ini dapat menambah sedikit informasi
masyarakat di era milenial dan walaupun hanya setitik air ditengah laut dan
sebutir pasir ditepi pantai.
Bahan
kayu untuk pembuatan Jalur pada dekade 80-an mungkin tidak sesulit saat ini,
karena untuk kenegerian Sentajo sendiri yang terdiri dari 4 (empat) dari 5
(lima) desa yaitu Kampung baru sentajo, Koto sentajo, Muaro sentajo dan Pulau
komang sentajo, mencari kayu untuk jalur biasanya pada rimba atau hutan yang
tebentang mulai dari hutan lindung Sentajo – sampai ke muara langsat, sedangkan
Pulau kopung sentajo mungkin lebih memilih pada rimbo kukok dan sekitarnya yang
berbatasan langsung dengan desa tersebut.
Rimba
atau hutan tempat pengambilan kayu tersebut dilintasi sebuah jalan penghubung dari
Sentajo sampai muara langsat panjangnya ± 30 KM, dimana dari simpang PT.PT kampung
baru sentajo sampai ke hutan lindung sekitar ± 2 KM, artinya rimba atau hutan
kiri kanan jalan terbentang sepanjang ± 28 KM sampai muara langsat, hutan atau
rimba tersebut diselingi lahan perkebunan karet masyarakat setempat, pada jalan
tersebut dapat juga sebagai akses ke kiri jalan ke desa Jake dan Singingi, ke
kanan Jalan ke desa Sako Pangean.
Pada
suatu ketika desa Koto sentajo membuat sebuah jalur dimana kayunya diambil di
antara KM 8 sampai KM 10 ruas jalan Sentajo – Muara langsat, kita anggap kayu
diambil di KM 9 (yang ingat mohon koreksi persis lokasinya) dan untuk jenis
kayu, tinggi pohon dan umur kayu, penulis juga tidak mengetahui sampai ke ranah
itu, karena saat itu penulis masih anak-anak, mohon juga kepada pembaca agar dapat
menyampai informasi terkait jenis dan
umur kayu yang ideal untuk dijadikan jalur.
Proses
pembuatan Jalur dekade 80-an di Rantau kuantan tepatnya di desa Koto Sentajo saat ini kecamatan Sentajo raya kabupaten Kuantan singingi sebagai berikut :
1.
Survey
Dimulai oleh suatu keinginan masyarakat desa untuk memiliki jalur, maka para perangkat desa berunding, kemudian setelah ada kata sepakat, maka mulailah dilakukan penjajakan atau survey terhadap kayu yang akan digunakan untuk membuat sebuah jalur tersebut, survey dilakukan oleh perangkat desa bersama masyarakat siapa saja yang mau ikut, dalam survey ini biasanya tidak perlu terlalu banyak orang.
Informasi untuk kayu jalur biasanya sudah ada dari masyarakat, terutama dari masyarakat yang selalu melakukan aktifitas ke sekitraran rimba atau hutan seperti manakiak, mancari palibai, mamikek kuaran dan lain-lain, namum biasanya perlu dilakukan survey untuk melihat dari dekat apakah jenis dan umur kayu sudah bisa untuk digunakan, bagaimana dengan kondisi disekitaran pokok kayu, itu semua perlu juga diketahui.
2. Penebangan
Setelah kayu sesuai dengan keinginan dan disepakati, maka dilanjutkan dengan proses penebangan,, namun sebelum ditebang dilakukan terlebih dahulu proses permohonan dan do’a disekitaran pokok kayu, agar diberi kelancaran untuk semua proses dan selain itu proses do’a juga merupakan permintaan izin kepada pemilik alam Allah S.W.T, untuk meminta makluk ciptaannya yang akan digunakan untuk pembuatan Jalur.
Setelah pokok kayu untuk dibuatkan jalur tersebut tumbang, langkah selanjutnya adalah melakukan pemotongan dahan-dahan dan ranting, pokok kayu dibersihkan serta dirapikan, kemudian untuk mengurangi beban saat penarikan nanti, maka tukang sudah mulai untuk membentuk jalur sementara, dimana pembentukan dilakukan untuk berat, dengan tidak mengganggu unsur penting dalam sebuah Jalur.
3.
Maelo
Jalur
Maelo
(menarik)
jalur salah satu proses yang paling ditunggu oleh masyarakat, karena pada
proses inilah betobo atau gotong
royong sesungguhnya akan sangat terlihat, diawali pemberitahuan melalui canang (alat telempong), tukang canang memberi kabar atau berita tersebut
atas perintah Pak wali atau Kepala desa, tukang canang berkeliling wilayah yang menjadi yang menjadi tanggung
jawabnya
Informasi
melalui tukang Canang dilakukan dimalam hari, berjalan memukul canang kemudian berhenti lalu marongak
menyampaikan kabar, dimana bait kata untuk canang
maelo jalur lebih kurang seperti ini “ooooh
rang banjar iko, latibo pulo parentah dari pak banjar kito, bisuak kolam kito
maelo jaluar, patah rantiang, bakumpual dikodai panjang, baok nasi ngan
mangkanan, jangan lupo lobian,….itu ja nye”, jalan lagi begitu seterusnya.
Maksud dari
informasi diatas kira-kira seperti ini, “ooooh orang wilayah sini, sudah datang
pula perintah dari pimpinan kita, besok pagi kita menarik jalur, dari yang
kecil sampai dewasa, tua dan muda harus ikut, berkumpul dikedai panjang, bawak
nasi dan makanan ringan (snack),
jangan lupa dilebihkan,…itu saja”, saat maelo
jalur desa tersebut biasanya sepi, karena antusias masyarakatnya pada proses
tersebut biasa sangat tinggi.
Dalam proses batobo atau gotong royong maelo jalur ini yang ikut biasanya tidak saja masyarakat dari desa bersangkutan, ada juga masyarakat desa tetangga yang bergabung, hal seperti sudah biasa dalam pelaksanaan maelo jalur, dalam maelo Jalur biasanya dibantu alat penarek yaitu rotan yang berfungsi sebagai tali penarik, untuk melancarkan penarikannya dibantu dengan galang atau potongan-potongan kayu bulat yang disusun dibawah jalur tersebut yang berfungsi sebagai roda.
Rotan yang disambung-sambung, hingga mencapai 150 – 250 meter bahkan lebih, sedangkan potongan kayu Ø ± 10 sampai 15 Cm dengan panjang ± 2 – 2,5 M, ketika jalur ditarik bersama-sama, secara estafet sambil maelo potongan-potangan kayu dipindahkan kedepan jalur, dalam memindahkan galang harus berhati-hati, agar galang yang ada dibawah jalur yang sedang berjalan tidak menggilas kaki.
Maelo jalur tidak dilakukan setiap hari, karena harus menimbang aktifitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, oleh sebab itu proses tersebut biasanya dilakukan dihari libur anak sekolah yaitu pada hari ahad, proses maelo jalur yang dilakukan menggunakan tenaga masyarakat dimulai dari tempat atau lokasi penebangan pokok kayu sampai pada lokasi tambatan didesa yang telah disediakan.
Lama proses mealo jalur tergantung jarak kayu jalur dengan lokasi tempat tujuan jalur dan kemampuan masyarakat dalam 1 (satu) hari, jika lokasi sejauh ± 9 (Sembilan) KM, kemampuan maelo jalur 1,5 KM sampai 2 KM perhari, maka lama maelo untuk kondisi tersebut adalah selama 5 (lima) hari ditambah 1 (satu) hari menarik dari lokasi pokok kayu yaitu selama 6 (hari) atau 6 (enam) minggu setara dengan 1,5 (satu koma lima) bulan.
Selain itu kemampuan maelo jalur perhari juga tergantung kondisi lapangan, jika tali atau rotan sering putus, tentu akan berpengaruh pada jarak menarik per harinya, dalam maelo pegangan dan tenaga harus dikeluarkan serentak, dalam maelo tersebut harus mendengarkan aba-aba dari komando yang ada didekat jalur, dimana aba-aba akan mempermudah dalam penarikan kayu jalur tersebut.
Saat maelo jalur rotan/tali penarik putus sudah menjadi hal yang biasa, bahkan terkadang sengaja diputus, saat rotan/tali putus sorak-sorai penarik bergemuruh, jatuh bersama semua peserta penarik jalur tak terelakan, gelak tawa dan kecerian akan terpancar dari semua penarik sepanjang rotan/tali tersebut, saat putus biasanya menjadi kesempatan untuk istrahat, maelo jalur rutin dilakukan setiap ahad sampai jalur pada tujuan tambatannya.
Masih terkenang dalam ingatan, saat istrahat makan siang bersama ditepi jalan pinggiran rimbo/kebun masyarakat, tepatnya antara KM 3 - 3,5 sesudah hutan lindung Sentajo sebelum persimpangan 4 (kiri ke Telukkuantan, kanan ke Teratak air hitam dan lurus Sentajo atas), tercermin bukti kebersamaan masyarakat saat itu sambil makan diatas daun pisang nasi ibek, membawa bekal atau tidak semua peserta pasti menikmati makan siang bersama tersebut
4. Malayuar Jalur
Setelah kayu jalur sampai dilokasi, saat itu kayu jalur ditempatkan di ujung kedai panjang arah Telukkuantan, tepatnya dipinggir sawah desa Koto sentajo, jalur yang belum sepenuhnya terbentuk tersebut, mulailah dikerjakan oleh tukang, dimana pengerjaannya biasanya mencapai 1 – 2 bulan, malayuar atau mandiang atau pengasapan jalur biasanya menunggu arahan dari tukang dan pada saat dilayuar jalur sepenuhnya belum selesai.
Selama pengerjaan Jalur oleh tukang kebersamaan masyarakat desa saat itu kembali terlihat, kerena untuk memenuhi makan minum tukang, masyarakat secara bergiliran membawa makanan sampai jalur tersebut selesai, bantuan dari orang-orang tertentu sebenarnya juga ada, namun proses betobo tetap yang utama dimasyarakat saat itu, walaupun hidup saat itu serba sederhana, namun ketika sudah bersatu banyak mimpi yang bisa terwujud.
Ketika tukang jalur sudah menyatakan jalur siap di layuar, maka mulailah dilakukan persiapan kelengkapan untuk malayuar jalur, tujuan jalur di layuar adalah agar “mengembang”, namun silahkan untuk diluruskan, apa tunjuan jalur di layuar sebenarnya, saat malayuar yang sangat dibutuhkan adalah panas dan asap, jadi dalam malayuar jalur diusahakan panas terjaga dan asap sebanyak mungkin.
Untuk malayur Jalur
tersebut semua generasi di rantau kuantan dan Indragiri, jika ingin mengetahui
prosesnya silakan lihat permbuatan jalur baru, kepada pembaca yang mengetahui
silakan sampaikan proses melayuar jalur
yang lengkap, apa tujuan melayuar, lama
malayuar, apa yang dilakukan setelah
di layuar, hiburan saat Malayuar dan proses lainnya dalam malayuar.
Dari
proses pembuatan jalur diatas, ada perubahan proses yang sangat mendasar yaitu
saat membawa jalur dari lokasi ke tujuan, dimana dibawah tahun 90 an maelo jalur dilakukan bersama-sama dengan
batobo menggunakan tenaga manusia,
dizaman modern saat ini maelo atau
menarik jalur sudah menggunakan alat berat, sehingga dengan perubahan tersebut,
kayu jalur lebih cepat sampai ke tujuannya.
Beberapa
hal penting yang terkandung dalam proses pembuaatan jalur, mulai dari
penebangan sampai selesainya jalur tersebut dan bahkan sampai pada saat berpacu
antara lain :
1. Sebelum kayu ditebang, do’a dan
permintaaan izin untuk mengembalikan makluk hidup, artinya satu batang kayu
yang akan kita tebang harus meminta izin kepada sang penguasa dan penciptaNya.
2.
Dalam Batobo atau gotong royong kita telah bersilahturahmi, dimana
selaturahmi adalah salah satu bentuk menjaga persatuan dan kesatuan, dengan betobo masyarakat menjadi kuat dan
dengan muda mencapai keinginan bersama
3.
Dari proses maelo jaluar tempo dulu, masyarakat dilatih untuk bersedekah yang
memang sudah dianjurkan dalam agama, sehingga dalam membuat jalur dan saat ikut
berpacupun kebersamaan tersebut selalu terjaga, walaupun saat itu tidak semewah
sekarang.
Jadi
sewajarnya kabupaten Kuantan singingi mengedepankan motto “ Basatu Nagori Maju ” karena dalam urusan
kemaslahatan orang banyak, dari dulu masyarakat Rantau kuantan sudah
mengedapankan Batobo dalam
menyelesaikan persoalan, sudah
tertanam dalam jiwa masyarakatnya, bahwa setiap persoalan yang patut disamakan selalu
dipecahkan bersama-sama, menggantungkan diri kepada 1 atau 2 orang atau kepihak
manapun, bukan karakter masyarakat Rantau kuantan sejak dulunya, baik pribadi
dan/atau perkumpulan masyarakatnya selalu berdikari.
Bila hidup tidak
bersatu
Disanalah tempat tumbuhnya seteru
Bila hidup
berpecah belah
Yang kuat
menjadi lemah
Bila hidup tidak
mufakat
Seteru banyak musuhpun dekat
Bila hidup tidak
sehati
Banyaklah kerja tidak menjadi
Semoga
Betobo untuk kebaikan selalu eksis,
nilai budaya yang baik mari selalu kita jaga, jika ada yang dianggap belum
serasi dan belum sesuai, mari sama kita luruskan, nilai yang tidak dapat
diluruskan mari segera dibuang.
Jika terdapat kata dan tulisan atau maksud yang tidak tepat mohon koreksinya dan mohon ma’af jika ada yang tidak berkenan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar